RABU, 25 Juni 2014
kerajaan tanah hitu
Kerajaan Tanah Hitu
1. Sejarah
Kerajaan Tanah Hitu terletak di Pulau Ambon, tepatnya di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.
Dinamakan Kerajaan Tanah Hitu karena letaknya berada di daerah
Leihitu. Pada saat kerajaan tersebut masih eksis, daerahnya bernama
Tanah Hitu. Kini, nama Tanah Hitu sudah tidak ada lagi, yang ada adalah
Kecamatan Leihitu yang kadang biasa disebut dengan Jazirah Leihitu. Di
Kecamatan Leihitu terdapat banyak desa, di antaranya adalah Hitu Lama,
Hila, Wakal, Mamala, Morela, Seith, dan sebagainya. Secara geografis,
Pulau Ambon terdiri dari dua wilayah (jazirah), yaitu Jazirah Leihitu
(kadang disebut Lei Hitu) yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
sedangkan di bagian selatan disebut Jazirah Lei Timur yang mayoritas
penduduknya beragama Kristen. Secara administratif pemerintahan
Provinsi Maluku, Leihitu masuk dalam Kabupaten Maluku Tengah, sedangkan
Lei Timur masuk ke dalam Kota Ambon.
Kerajaan ini berdiri sebelum era kolonialisme di Indonesia. Berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari keberadaan Empat Perdana.
Mereka adalah empat kelompok yang pertama kali menginjakkan kakinya di
Tanah Hitu. Empat Perdana bukan berarti empat orang Perdana, tapi
merujuk pada periodeisasi kedatangan para perdana ke Maluku. Sehingga,
sebutan empat tidak menunjuk pada jumlah empat orang, tapi lebih
diartikan pada empat kelompok yang datang pada setiap periode. Empat
Perdana juga dikenal sebagai penyebar ajaran Islam pertama kali di
Maluku.
Empat Perdana tersebut merupakan bangsa Alifuru. Secara historis, bangsa Alifuru adalah sub ras
Melanesia yang pertama kali mendiami Pulau Seram dan pulau-pulau
lainnya di Maluku. Secara etimologis, kata “Alifuru” artinya adalah
“orang yang pertama kali datang”. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana
sejarah proses berdirinya Kerajaan Tanah Hitu, termasuk perdana siapa
saja yang tergabung dalam kelompok Empat Perdana tersebut.
a. Sejarah Kedatangan Empat Perdana
Kedatangan Empat Perdana ke Hitu dilakukan secara bertahap (periodik). Perdana yang datang awal kali ke Tanah Hitu adalah Pattisilang Binaur. Ia datang dari Gunung Binaya (Seram Barat) ke Nunusaku, yang kemudian dilajutkan ke Tanah Hitu. Ketika
pertama kali singgah di Tanah Hitu, kelompok ini mendiami Bukit
Paunusa. Ia kemudian mendirikan sebuah negeri bernama Soupele dengan
marga Tomu Totohatu. Dengan marga ini, Pattisilang Binaur kadang juga
disebut dengan nama Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi.
Setelah
Pattisilang, perdana pada periode kedua datang secara berkelompok,
yaitu Kiyai Daud dan Kiyai Turi, yang disebut juga Pattikawa dan
Pattituri, dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas. Konon, mereka merupakan anak dari Muhammad Taha Bin Baina Mala
bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin
Muhammad An Naqib, yang nasabnya berujung pada Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah binti Rasulullah SAW. Ibu mereka merupakan keturunan dari keluarga Raja Mataram
Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban. Sejak kecil Pattikawa,
Pattituri, dan Nyai Mas dibesarkan dalam lingkungan keluarga ibunya.
Kedatangan mereka ke Tanah Hitu bermaksud mencari tempat tinggal
leluhur ayahnya. Ayah mereka datang ke Tanah Hitu pada abad
ke-X dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah. Disebut
Yasirullah karena ia melakukan perjalanan secara rahasia untuk
mencarikan tempat tinggal untuk anak cucunya kelak di kemudian hari.
Maka, dengan kehendak Allah SWT ia singgah di suatu tempat yang kini
bernama Negeri Hitu, tepatnya di Haita Huseka‘a (Labuhan Huseka‘a).
Rombongan kelompok Perdana Pattikawa datang ke tempat tersebut pada
tahun 1440. Mereka akhirnya dapat menemukan kuburan ayahnya yang berada
di atas batu karang, bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera, yang
jaraknya kira-kira 1 KM dari Negeri Hitu.
Sejarah
kedatangan Perdana Pattikawa ke Tanah Hitu menyebabkan dirinya juga
disebut dengan istilah Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai. Arti dari
istilah tersebut menunjukkan bahwa ia merupakan orang pertama yang
mendirikan negeri Wapaliti di pesisir pantai, Muara Sungai Wai Paliti,
dengan marganya Pelu.
Perdana yang datang pada periode ketiga bernama Jamilu, yang datang dari Kerajaan Jailolo. Jamilu
datang ke Tanah Hitu pada tahun 1465. Ia mendirikan negeri bernama
Laten. Nama negeri tersebut menjadi nama marganya, yaitu Lating. Jamilu
disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi dengan gelar Kapitan
Hitu I. Nama Nustapi memiliki arti sebagai seorang pendamai karena ia
pernah mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu (Pattikawa)
dengan Perdana Totohatu.
Kelompok
pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (Pulau Seram bagian
Timur). Ia datang ke Tanah Hitu pada tahun 1468. Ia mendirikan negeri
bernama Olong. Nama negeri tersebut juga sekaligus menjadi nama
marganya. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, karena ia pernah
diutus ke Tuban untuk memahami sistem pemerintahan di daerah itu yang
nantiya akan dijadikan dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu.
b. Sejarah Pembentukan Kerajaan
Sering
dengan perkembangan waktu, Empat Perdana tersebut bersepakat untuk
bersatu dan mereka akhirnya mendirikan Kerajaan Tanah Hitu. Pattikawa
(Perdana Tanah Hitu) adalah yang menggagas penggabungan dan pendirian
kerajaan ini. Empat Perdana kemudian mengadakan sebuah pertemuan yang
disebut Tatalo Guru. Pertemuan tersebut sebagai ajang musyawarah untuk
menentukan siapa pemimpin kerajaan yang baru. Hasil musyawarah
menentukan bahwa yang pantas sebagai pemimpin adalah anak dari
Pattituri, adik kandung Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin
dengan pangkat Abubakar Na Sidiq. Pada tahun 1470, Zainal Abidin
kemudian ditetapkan sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama
dengan gelar Upu Latu Sitania (Raja Penguasa Tunggal). Ia juga
mendapatkan gelar Raja Tanya karena sebelum mengambil keputusan Empat
Perdana saling bermusyawarah dan bertanya tentang perlu atau tidaknya
seorang raja serta siapakah yang pantas menjadi raja di antara kelompok
mereka.
2. Silsilah
Berikut ini adalah daftar raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Tanah Hitu. Data
ini masih belum lengkap karena tahun kekuasaannya tidak tercatat
secara resmi. Raja keenam merupakan raja terakhir dalam Kerajaan Tanah
Hitu yang lama, yaitu ketika hancur akibat kolonialisme Belanda.
- Zainal Abidin Upu Latu Sitania (1470-…)
- Maulana Imam Ali Mahdum Ibrahim
- Pattilain
- Popo Ehu
- Mateuna (…-1634)
- Hunilamu (1637 – 1682)
3. Periode Pemerintahan
Kerajaan
Tanah Hitu mencapai kejayaannya pada masa 1470-1682, yaitu sejak
rajanya yang pertama (Zainal Abidin) hingga raja yang keenam
(Hunilamu). Pada periode tersebut, Kerajaan Tanah Hitu pernah menjadi
pusat perdagangan rempah-rempah yang sangat vital di kawasan Maluku.
Kondisi inilah yang menyebabkan Portugis dan Belanda sangat berniat
menguasai Maluku, salah satunya dengan cara menyerang Kerajaan Tanah
Hitu secara habis-habisan.
Pada
awal abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Mateuna, Negeri
Hitu sebagai pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu dipindahkan ke pesisir
pantai. Raja Mateuna adalah raja kelima pada Kerajaan Tanah Hitu, yang
meninggal pada tanggal 29 Juni 1634. Pada masanya, Kerajaan Tanah Hitu
melakukan kontak yang pertama dengan Portugis, yaitu melalui perlawanan
fisik pada Perang Hitu I (tahun 1520-1605). Perlawanan tersebut
dipimpin oleh Tubanbessy I (Kapitan Sepamole). Pada tahun 1575, Portugis
akhirnya menyerah dan angkat kaki dari Tanah Hitu. Sepeninggalan Raja
Mateuna, tahta kekuasaan kerajaan kemudian dipegang oleh salah satu
anaknya, Hunilamu yang ditetapkan sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu (Latu Sitania)
yang keenam (1637–1682). Sedangkan anaknya yang lain, Silimual pergi
ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) dan menjadi Kapitan Houamual.
Setelah
Portugis angkat kaki dari Tanah Hitu, penjajahan kemudian dilanjutkan
oleh Belanda yang datang pada tahun 1599. Upaya Belanda menguasai
wilayah ini diawali dengan pembangunan benteng pertahanan (Benteng
Amsterdam) di Tanah Hitu bagian barat, persisnya terletak di pesisir
pantai kaki Gunung Wawane. Raja Hunilamu kemudian bereaksi cepat dengan
memerintahkan ketiga perdananya untuk mendirikan negeri baru bernama
Hitu Helo, yang dalam perkembangan selanjutnya disebut dengan nama
Negeri Hila. Letak negeri itu sengaja didirikan berdampingan dengan
benteng Belanda. Maksudnya agar dapat membendung pengaruh Belanda di
Tanah Hitu.
Masuknya
Belanda di Tanah Hitu ditandai dengan pecahnya Perang Hitu II (Perang
Wawane), yaitu antara tahun tahun 1634 -1643. Perang ini dipimpin oleh
Kapitan Pattiwane (anak dari Perdana Jamilu) dan Kapitan Tahalele.
Perang Hitu II ini kemudian berlanjut menjadi Perang Kapahaha (tahun
1643-1646) yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan
Imam Ridjali. Namun, berakhirnya perang ini ditandai dengan kemampuan
Belanda menguasai seluruh jazirah Leihitu, termasuk seluruh kekuasaan
Kerajaan Tanah Hitu. Konsekuensi dari kekalahan ini adalah Belanda dapat
mempengaruhi jalannya proses pemerintahan di dalam kerajaan. Sehingga,
lambat laun eksistensi Kerajaan Tanah Hitu menjadi hilang. Masa
pemerintahan Raja Hunilamu (1637-1682) merupakan periode terakhir dari
kerajaan ini. Hingga kini, secara turun-temurun kerajaan tersebut
diintegrasikan dalam bentuk kepemimpinan kepala desa di Desa Hitu,
Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.
Artinya, hingga kini kepala desa juga merangkap sebagai raja.
4. Wilayah Kekuasaan
Setelah
Negeri Hitu terbentuk sebagai pusat aktivitas Kerajaan Tanah Hitu yang
baru, selain orang (bangsa) Alifuru yang menghuni kerajaan tersebut
ada bangsa-bangsa dari negeri lain yang turut serta menjadi penghuni,
yaitu Tomu, Hunut, dan Masapal. Dalam perkembangan selanjutnya, Tanah
Hitu tidak hanya berupa gabungan empat negeri tersebut, tapi kemudian
menjadi tujuh negeri yang terhimpun dalam satu tatanan adat atau
disebut dengan Uli (Persekutuan), yaitu Uli Halawan (Persekutuan Emas).
Dalam persekutuan ini Uli Halawan menempati pada tingkatan Uli yang
paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu) tersebut.
Pemimpin tujuh negeri dalam Uli Halawan disebut dengan istilah Tujuh
Panggawa atau Upu Yitu. Wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam tujuh
negeri tersebut adalah: Negeri Soupele, Negeri Wapaliti, Negeri Laten,
Negeri Olong, Negeri Tomu, Negeri Hunut, dan Negeri Masapal.
5. Struktur Pemerintahan
Struktur
pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu agak berbeda dengan kerajaan
lainnya. Di Kerajaan Tanah Hitu, posisi raja adalah sebagai pemegang
pemerintahan yang tertinggi, sedangkan Empat Perdana adalah yang
menjalankan pemerintahan di bawah perintah raja. Meskipun Empat Perdana
merupakan para pendiri kerajaan, namun posisi mereka bukan lagi
sebagai “dewan penasehat” seperti umumnya yang terjadi di
kerajaan-kerajaan lain.
Struktur
pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu pernah berubah ketika Belanda
berhasilkan menguasai kerajaan tersebut pada Perang Kapahaha (tahun
1643-1646). Konsekuensi kekalahan ini menyebabkan Belanda melakukan
perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah
Hitu, yaitu dengan cara mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap
Uli sebagai raja tandingan dari Kerajaan Tanah Hitu. Belanda kemudian
menerapkan politik pecah belah (devidet et impera) demi tujuan
disintegrasi kerajaan. Sehingga, Negeri Hitu yang lama dibagi menjadi
dua administrasi pemerintahan, yaitu Hitulama dan Hitumessing. Dengan
strategi politik semacam ini, Belanda akhirnya dapat menghancurkan
pemerintah Kerajaan Tanah Hitu hingga ke akar-akarnya. Masa pemerintahan Raja Hunilamu (1637–1682) merupakan periode terakhir dari Kerajaan Tanah Hitu. Peninggalan
Kerajaan Tanah Hitu tidak hanya berupa bangunan fisik semata. Kerajaan
ini juga melahirkan banyak intelektual dan pahlawan nasional, di
antaranya adalah Imam Ridjali, Talukabessy, dan Kakiali.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Sebagaimana
telah disebutkan di atas bahwa mayoritas masyarakat di Leihitu
beragama Islam. Secara historis, proses masuknya Islam di Lei Hitu
banyak dipengaruhi oleh para pedagang Gujarat, Persia, dan Arab.
Kedatangan mereka, di samping mengenalkan potensi alam Maluku dengan
rempah-rempahnya ke dunia luar, juga dimaksudkan untuk menyebarkan Islam
di wilayah ini. Melalui pergaulan sosial yang sangat baik, lambat laun
mereka dapat mengenalkan Islam kepada penduduk lokal, sehingga banyak
masyarakat di Leihitu termasuk juga di Ternate yang kemudian memeluk
agama Islam. Kedua daerah ini kemudian dikenal sebagai pusat penyebaran
ajaran Islam di nusantara, tidak hanya di Maluku saja.
Di
samping dikenal dengan religiusitas keislamananya, masyarakat Leihitu
juga dikenal sangat percaya dan patuh terhadap petuah dan perintah yang
disampaikan pemimpinnya. Pada saat sekarang ini, kepala desa disebut
dengan istilah Bapa Raja karena merupakan pewaris tahta Kerajaan Tanah
Hitu. Posisi Bapa Raja sangat kuat kedudukannya dalam kehidupan sosial
masyarakat di masing-masing desa. Ketika konflik Ambon tahun 1999
pecah, Bapa Raja ikut memimpin perang dalam kerusuhan tersebut. Mayoritas
penduduk di Kecamatan Leihitu yang beragama Islam menyebabkan daerah
ini mudah disulut konflik dengan daerah lain yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen. Meski konflik Ambon sering dibantah sebagai bukan
konflik agama, namun nyatanya sentimen keagamaan kerap mewarnai gesekan
sosial yang berujung pada konflik berdarah